Minggu, 11 Februari 2018

KEPEMILIKAN TUNGGAL ATAS PERSEROAN APAKAH DIMUNGKINKAN?





Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT") mensyaratkan perseroan didirikan oleh 2 orang atau lebih dengan kata lain mewajibkan sebuah perseroan terbatas untuk memiliki setidak-tidaknya dua orang pemegang saham. Namun berdasarkan ketetuan Pasal 7 ayat (7) UUPT terdapat beberapa perseroan yang dikecualikan untuk memiliki dua pemegang saham diantaranya :

  1. Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 19 Tahun 2003, dimana hal ini berlaku kepada Badan Usaha Milik Negera yang bersifat tertutup yang sepenuhnya tunduk pada UUPT dan ketentuan terkait dengan Badan Usaha Milik Negera;
  2. Perseroan yang mengelola bursa etek, lembaga kliring dan penyimpanan dan penyelesaian, serta lembaga lain yang diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal ("UUPM")
Lantas bagaimana dengan perseroan yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum tetapi pemegang sahamnya menjadi kurang dari dua?. UUPT bukan tidak membolehkan perseroan untuk dimiliki kurang dari 2 orang pemegang saham, namun dalam ketentuan Pasal 7 ayat (5) UUPT membatasi limit kepemilikan dua pemegang saham sampai dengan enam bulan sejak keadaan pemegang saham menjadi dua, dengan kata lain ketika terjadinya kondisi pemegang saham perseroan menjadi kurang dari dua pemegang saham, maka pemegang saham existing wajib mengalihkan sebagian kepemilikan sahamnya kepada orang lain (orang perorangan atau badan hukum) atau perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. 

Implikasi tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 7 ayat (5) (pemegang saham tidak mengalihkan saham/perseroan tidak menerbitkan saham baru kepada orang lain dalam jangka maktu 6 bulan sejak terjadinya kurang dari dua pemegang saham) maka pemegang saham yang existing bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan dan kerugian perseroan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan pemegang pihak berkepentigan yaitu kejaksaan, pemegang saham, direksi, dewan komisaris, karyawan perseroan, kreditor, dan/atau pemanggu kepentingan dapat mengajukan permohonan pembubaran kepada pengadilan negeri. 

TINDAK PIDANA KORPORASI BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI



A.  Tindak Pidana Korporasi
Menurut Pasal 1 angka 8 Jo Pasal 3  Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 yang dimaksud dengan tindak pidana korporasi oleg korporasi adalah tindak pidana yang  dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau hubungan lainnya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas  nama korporasi[1] di dalam maupun di luar lingkungan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi sesuai dengan undang-undangan yang mengatur korporasi.[2] Ruang lingkup korporasi dalam tindak pidana korporasi dalam Perma No. 13 Tahun 2016 ini menjadi luas dimana bedasarkan Pasal 1 angka 1 Perma No. 13 Tahun 2106 yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan terorganisir, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.[3]
Penjatuhan pidana korporasi oleh hakim dilakukan dengan menilai kesalahan korporasi antara lain:[4]
a.   Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi;[5]
b.   Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana;
c.   Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.


B.   Pertanggungjawaban Grup Korporasi
Dalam Perma No. 13 Tahun 2016 yang dimaksud dengan Korporasi Induk (parent company) adalah perusahaan yang memiliki dua atau lebih anak perusahaan yang disebut dengan perusahaan subsidiari yang juga memiliki status badan hukum tersendiri.[6] Sedangkan yang dimaksud dengan Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) adalah perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang mempunyai hubungan (sister company) adalah perusahaan yang dikontrol atau dimiliki oleh satu perusahaan induk.[7]
Terhadap grup korporasi berdasarkan pasal 6 Perma No. 13 Tahun 2016 dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana baik hal tersebut dilakukan oleh Parent Company atau Subsidiary company ataupun Korporasi yang mempunyai hubungan dimana ketentuan pidana korporasi ini tergantung peran masing-masing perusahaan dalam tindak pidana korporasi.


C.   Pertanggungjawaban Korporasi dalam Penggabungan, Peleburan, Pemisahan dan Pembubaran Korporasi
Apabil terjadi tindak pidana korporasi dalam hal terjadinya penggabungan (merger), peleburan, pemisahan (spin off) ataupun pembubaran maka sebagai berikut:
Perbuatan Hukum
Ketentuan Pidana Korporasi
Pasal
Penggabungan dan Peleburan
Pertanggungjawaban dikenakan sebatas nilai dari harta kekayaan atau aset yang ditempatkan terhadap korporasi yang menerima penggabungan atau hasil peleburan.
7 ayat (1) Perma No. 13 Tahun 2016
Pemisahan
Pertanggungjawaban dikenakan terhadap korporasi yang dipisahkan dan/atau yang melakukan pemisahan ataupun keduanya berdasarkan peran masing-masing yang dilakukan.
7 ayat (2) Perma No. 13 Tahun 2016
Pembubabaran
Pertanggungjawaban hanya dapat dikenakan terhadap korporasi yang akan dibubarkan (untuk korporasi yang telah dibubarakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban) untuk itu maka diatur mekanisme Pasal 8 Pema No. 13 Tahun 2016 dimana dikenakan gugatan terhadap aset milik korporasi yang digunakan untuk kejahatan kepada mantan pengurus, ahli waris, atau pihak ketiga yang menguasai aset korporasi yang telah dibubarkan.
Pasal 7 ayat (3) Jo Pasal 8 Perma No. 13 Tahun 2016

Note: Ketentuan tindak pidana korporasi tidak dapat dikenakan dalam hal terjadi akuisisi (pengambilalihan saham) karena dalam Perma No. 13 Tahun 2016 tidak diatur mekanisme tersebut.


D.  Pemeriksaan Korporasi dalam Penyidikan dan Persidangan
Pemeriksaaan
Ketentuan
Pasal
Penyidikan
a.   Pemeriksaan terhadap korporasi diwakili oleh seorang pengurus dengan surat panggilan yang sah;
b.  Dalam hal pengurus yang telah dipanggil secra sah dan patut tidak hadir atau tidak menunjuka pengurus lain untuk mewakili korporasi maka dibuat perintah paksa kepada petugas untuk membawa pengurus tersebut (dengan surat perintah yang sah).

11 Perma No. 13 Tahun 2016
Persidangan
a.     Perwakilan pengurus pada saat persidangan diwakili oleh pengurus pada saat tahap penyidikan;
b.     apabila pengurus berhalangan hadir, maka hakim/ketua siding memerintahkan penuntut umum mennghadirkan pengurus lain untuk mewakili Korporasi sebagai terdakwa;
c.     Apabila telah dipanggil secara patut dan sah pengurus yang mewakili korporasi tidak hadir, maka siding ditunda dan memerintahkan penuntut umum untuk memanggil kembali pada sidang berikutnya;
d.     dalam hal Pengurus tidak hadir pada sidang berikutnya maka pengurus dihadirkan secara paksa oleh Penuntut umum atas perintah hakim/ketua sidang.
13 Perma No. 13 Tahun 2016

E.   Perwakilan Korporasi
Perbuatan Hukum
Pihak yang Mewakili
Pasal
Korporasi dan pengurus sebagai tersangka atau terdakwa
Pengurus yang mewakili adalah pengurus yang menjadi tersangka atau terdakwa
15 Perma No. 13 Tahun 2016
Penggabungan dan Peleburan
Pengurus pada saat dilakukan pemeriksaan perkara
17 ayat (1) Perma No. 13 Tahun 2016
Pemisahan
Pengurus yang menerima peralihan setelah pemisahan dan/atau pemisahan
17 ayat (2) Perma No. 13 Tahun 2016
Pembubabaran
Likuidator
17 ayat (3) Perma No. 13 Tahun 2016

F.   Gugatan Ganti Rugi Dan Restitusi
Berdasarkan Pasal 20 Perma No. 13 Tahun 2016 diatur masalah restitusi akibat tindak pidana korporasi yang dapat dimintakan kepada Korporasi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan melalui gugatan perdata. Jika merujuk pada hal tersebut, maka restutusi ini akan merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, dimana “terhadap setiap perbuatan melawan hukum dapat dimintakan ganti kerugian”, mekanisme ini dilakukan dengan cara gugatan untuk meninta ganti kerugian (schede).

G.  Pidana Korporasi
Pidana korporasi yang dapat dijatuhkan hakim menurut Pasal 23 dapat dijatuhkan kepada:
a.   Korporasi; atau;
b.   Pengurus; atau;
c.   Korporasi dan Pengurus;
d.   Pihak lain yang memungkinkan terlibat;
dimana berdasrakan Pasal 25 Perma No. 13 Tahun 2016 bentuk pidana terhadap Korporasi dapat berupa pidana pokok (denda) dan pidana tambahan. [8] apabila tidak dapat melunasi denda, maka Korporasi berdasarkan pasal 28 ayat (3) (tidak dapat diperpanjang), maka oleh Jakas dilelang untuk membayar denda. Hal ini menjadi masalah, bagaimana jika terjadi, hasil lelang tidak cukup untuk melunasi denda yang dikenakan atas putusan hakim, siapa yang akan bertanggungjawab atas hal tersebut (sisa denda yang tidak dapat dibayar).




[1] Kata bertindak untuk dan atas nama korporasi ini dapat diartikan bahwa pihak yang melakukan perbuatan merupakan orang memiliki otoritas untuk melakukan perbuatan atau dapat dikatakan dengan adanya frasa ini diartikan bahwa tindak pidana korporasi sebagaimana Perma No. 13 Tahun 2016 mengakomodir keberadaan doktrin Identification Theory atau Direct Liability Theory, dimana korporasi dapat bertanggungjawab apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pihak yang merupakan direct mind dari korporasi tersebut.
[2] Steven Box membedakan Tindak Pidana Korporasi menjadi tiga jenis yaitu (a) Crime for corporation yaitu kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan, (b) Criminal Corporation yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan, (c) Crimes Against Corporation adalah kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencucian uang atau penggelapan milik korporasi dalam hal ini korporasi sebagai korban.
[3] Pengertian Korporasi sebagaimana mana Perma No. 13 Tahun 2016 sejalan dengan pendapat Sutan Reni Sjahdeni dalam Bukunya “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, hlm. 44” dimana dalam buku tersebut dinyatakan bahwa korporasi dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu secara sempit yang sebatas badan hukum dan secara luas yang diartikan tidak hanya badan hukum tetapi juga termasuk dan tidak terbatas pada persekutuan perdata, CV, dan badan-badan lain yang menjalankan usaha.
[4] Pasal 4 ayat (2) Perma No. 13 Tahun 2016.
[5] Frasa dapat pada Pasal 4 ayat (2) huruf a ini dapat dikatakan selama korporasi dimungkinkan memperoleh keuntungan atau manfaat maka dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana (bukan berarti korporasi telah mendapatkan keuntungan atau manfaat.
[6] Pasal 1 angka 2 Perma No. 13 Tahun 2016.
[7] Pasal 1 angka 3 Perma No. 13 Tahun 2016.
[8] Untuk pidana tambahan tergantung pada ketentuan Undang-Undang sectoral yang mengatur masalah Pidana untuk korporasi untuk pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi, dan restitusi. Berbeda dengan Korporasi untuk Pengurus dapat dikenakan pidana pokok selain denda sebagaimana Pasal 10 huruf a yaitu piana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan/atau pidana denda. 

Rabu, 15 November 2017

Perbuatan Hukum Yang Dilakukan Sebelum Perseroan Terbatas Didirikan dan Berbadan Hukum


Prinsip perbedaan kebadan hukuman dianut dalam sistem hukum Indonesia. Salah satu badan hukum sering dibentuk di Indonesia adalah perseroan terbatas. Dalam pembentukan perseroan terbatas pastinya terdapat proses yang dikenal dengan incorporation (proses pembentukan perusahaan/badan hukum).  Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas setidaknya terdapat  tiga jenis perbuatan hukum yang diakui sebelum Perseroan Terbatas berbadan hukum yaitu:

a.    Perbuatan Hukum Terkait dengan Kepemilikan Saham dan Penyetorannya
Pasal 12 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 mengatur syarat yang diperlukan dalam hal calon pendiri untuk melakukan penyerotan modal atau kepemilikan saham calon pendiri dimana hal tersebut perlu dicantumkan dalam akta pendirian perseroan dengan ketentuan sebagai berikut:
  •  Dalam hal perbuatan hukum terkait dengan kepemilikan saham dan penyetoran dilakukan dengan akta yang bukan otentik (not notarial deed), maka akta tersebut perlu diletakan pada akta pendirian (vide Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007).
  •  Dalam hal perbuatan hukum terkait dengan kepemilikan saham dan penyetoran dilakukan dengan akta otentik, maka nomor, tanggal dan nama serta kedudukan notaris dalam akta tersebut perlu disebutkan dalam akta pendirian (vide Pasal 12 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007).

Terhadap tidak diletakannya perbuatan tersebut dalam Akta Pendirian berdampak pada tidak menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban kepada perseroan.

b.    Perbuatan Calon Pendiri Untuk Kepentingan Perseroan sebelum Didirikan
Pasal 13 UU No. 40 Tahun 2007 menyatakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atas nama perseroan hanya megikat perseroan setelah menjadi badan hukum dalam hal RUPS pertama perseroan tersebut menyatakan menerima dan menggambilalih perbuatan tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
  • RUPS pertama dilangsungkan dalam waktu 60 hari setelah perseroan berbadan hukum;
  •    Keputusan RUPS tersebut dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili semua saham dengan hak suara dengan keputusan yang bulat;
  •  Dalam hal tindakan yang dilakukan oleh calon pendiri tersebut ditolak oleh RUPS, maka calon pendiri tersebut bertanggungjawab secara pribadi;
  • Ketentuan sebagaimana di atas, tidak berlaku dalam hal perbuatan hukum calon pendiri tersebut telah disetujui oleh semua calon pendiri sebelum pendirian perseroan.


c.  Perbuatan Hukum Atas Nama Peseroan Sebelum Memperolah Status Badan Hukum
Pasal 14 UU No. 40 Tahun 2007 memungkinkan tindakan hukum yang dilakukan oleh semua anggota direksi bersama-sama calon pendiri serta semua anggota dewan komisaris.  Dalam hal perbuatan tersebut dilakukan oleh Direksi, Calon Pendiri, dan Dewan Komisaris sebelum perseroan menjadi badan hukum dapat dipertangggungjawabkan kepada semuanya secara tanggung renteng dengan ketentuan perbuatan diambil alih oleh perseroan setelah berbadan hukum. Jika dilihat secara acontrario, maka apabila perbuatan hukum hanya dilakukan oleh salah satu dari tiga pihak tersebut, maka sifat pertanggungjawabannya menjadi pertanggungjawaban perserorangan, kecuali dilakukan oleh calon pendiri yang selanjutnya perbuatan hukum calon pendiri tersebut didisetujui oleh RUPS.