Minggu, 19 Juni 2016

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN PERTAMBANGAN (SMKP)





1.            Latar Belakang
Kecelakaan tambang menjadi musuh bagi industri tambang dimana pun berada, hal ini pun menjadi ancaman bagi industri pertambangan di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (untuk selanjutnya disebut Kementerian ESDM) menyatakan bahwa kecelakaan tambang disebabkan oleh (a) penyebab langsung yang disebabkan oleh tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman dan (b) penyebab dasar. Tahun 2014, Kementerian ESDM mengeluarkan data bahwa sebagian besar tindakan tidak aman disebabkan oleh tidak mengikuti prosedur, tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD), bekerja dengan posisi tidak benar, dan menggunakan alat yang tidak tepat, sedangkan kondisi tidak aman disebabkan oleh pelindung tidak lengkap, perkakas rusak, rambu-rambu tidak lengkap, dan kondisi jalan tidak memadai. Selanjutnya penyebab dasar kecelakaan tambang disebabkan oleh faktor kurangnya pengetahuan, motivasi yang keliru, dan kurangnya kemampuan dalam arti mental.
Masalah kecelakaan tambang sudah menjadi bahan diskusi khususnya pada pertemuaan tahunan Kepala Teknik Tambang (untuk selanjutnya disebut KTT). Pada tanggal 27 November 2012, pertemuan tahunan tersebut menyepakati untuk membentuk tim finalisasi draf Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara (untuk selanjutnya disebut SMKP Minerba).[1]  Sebagai tindak lanjut, maka dibentuk tim yang terdiri dari perwakilan manajer keselamatan dari perusahaan pertambangan mineral dan batubara dan perusahaan jasa pertambangan mineral dan batubara, konsultan dan trainer dari perusahaan jasa konsultan dan training keselamatan pertambangan, dan difasilitasi oleh Inspektur Tambang dari Direktorat Mineral dan Batubara ESDM.[2] Hasil pembahasan tim tersebut, pada tahun 2014 membuahkan hasil Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2014 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara.

2.            Dasar Hukum SMKP Minerba
SMKP Minerba yang menjadi standar di dunia pertambangan didasarkan pada aturan yang ada di Indonesia diantaranya yang menjadi landasan pembentukan SMKP Minerba adalah sebagai berikut:
2.1.      Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Di dalam UUD 1945 tepatnya di dalam Pasal 27 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.[3] Ketentuan pasal ini menjadi dasar bagi negara untuk memberikan kesejahteraan kepada warganya dalam bentuk pekerjaan dan penghidupan.  Selain itu di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai[4] oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[5]
2.2.      Undang-Undang 1 Tahun 1970
Undang-Undang ini merupakan peraturan pertama yang dibentuk oleh Indonesia terkait dengan pengaturan K3 secara umum sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan tersebut. Melalui Undang-Undang ini pengusaha sebagai Pengurus (pemberi kerja) diwajibkan untuk melakukan pengawasan[6] dan pembinaan[7] terhadap tenaga kerja yang ada padanya. Pada era peraturan ini, pengawasan pertambangan dilakukan oleh menteri ketenagakerjaan.
Untuk di bidang pertambangan sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, maka dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1973 yang memuat tentang pengawasan K3 dibidang pertambangan yang dilakukan oleh Menteri  ESDM dengan bekerjasama dengan menteri ketenagakerjaan.[8] Namun aturan ini tidak berlaku bagi Katel Uap sebagaimana dimaksud dalam Stoom Ordonnantie.[9]
2.3.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Undang-Undang ketenagakerjaan  sebagai salah satu dasar pelaksanaan K3 memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 ini setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan K3 yang dilakukan oleh perusahaan melalui sistem yang terintegrasi.[10]
Selanjutnya sebagai amanat Pasal 87 ayat (2), maka dibentuklah suatu sistem manajamen K3 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012. Sistem yang dibentuk dikenal dengan Sistem Manjemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang merupakan kewajiban bagi perusahaan yang mempekerjakan paling sedikit 100 buruh/pekerja dengan risiko tinggi.[11] Pelaksanaan SMK3 perusahaan dilakukan penilaian oleh Menteri ESDM melalui lembaga audit.[12]
2.4.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
K3 dan keselamatan operasi pertambangan menjadi kewajiban pemegang Izin Usah Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pengawasan K3 dilakukan oleh menteri, gubernur, bupati/walikota berdasarkan pada kewenangan yang ada. Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 pengawasan K3 dan keselamatan operasi oleh menteri, gubernur, bupati/walikota tidak hanya sebatas pada IUP dan IUPK, tetapi juga terhadap IPR.[13]
Selain itu jauh sebelum PP Nomor 55 Tahun 2010, Menteri Pertambangan dan Energi (sekarang ESDM) mengeluarkan peraturan terkait dengan pengawasan K3 Pertambangan dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor:555.K/26/M.PE/1995, dalam peraturan ini  pengawasan K3 dilaksanakan oleh Kepala Teknik Tambang (untuk selanjutnya disebut KTT) yang diangkat oleh pengusaha dan disahkan oleh Inspektur Tambang.[14] Keberadaan KTT begitu penting dalam usaha pertambangan, hal ini guna untuk menjamin K3 bagi tenaga kerja tambang.[15] KTT dalam menjalankan tugasnya dapat dibantu oleh Pengawas Opersional dan Pengawas Teknis.
2.5.      Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2014
Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2014 merupakan aturan penerapan SMKP bagi perusahaan yang menjalankan bisnis di bidang pertambangan mineral dan batubara dan perusahaan jasa pertambangan. Dalam peraturan ini penerapan SMKP dilaksanakan dengan membuat lima elemen penting yaitu kebijakan perencanaan, organisasi dan personel, implementasi, evaluasi dan tindak lanjut, dokumentasi, dan tinjaun manajemen. Terhadap perusahaan yang tidak menjalankan SMKP akan dikenakan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara, dan pencabutan izin.



3.            Karakteristik Pertambangan
Pertambangan memiliki pengertian sebagai sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangltutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.[16] Pertambangan sebagai suatu sektor usaha memiliki karakteristik diantaranya yaitu:
a.       padat modal dan teknologi;
b.      memiliki risiko yang besar dan spesifik;
c.       memiliki peralatan khusus[17];
d.      dinamis dalam arti bahaya dan risiko yang selalu berubah.
Selain itu, menurut kementerian ESDM pertambangan memiliki karakteristik khusus diantaranya:
a.       memiliki rencana kerja  dan anggaran keselamatan pertambangan yang disahkan oleh Menteri ESDM;
b.      terdapatnya Kepala Teknik Tambang, Kepada Tambang Bawah Tanah, Kepada Kapal Keruk, Penanggung Jawab Operasional;
c.       terdapatnya Pengawas Operasional dan Teknik yang ditunjuk oleh Kepala Teknik Tambang
d.      adanya personel khusus;
e.       adanya pengelolaan keselamatan operasi pertambangan;
f.       penggunaan bahan pelacak dan peledak;
g.      adanya penyelidikan kecekalakaan, kejadian bahaya, dan penyakit akibat kerja;
h.      adanya diklat pekerja dan pengawas, buku tambang, dan buku kecelakaan, serta kecelakaan pekerja di  luar pekerjaan.

4.            Konsep Akademis
Ditinjau dari segi akademis berdasarkan teori S. K Poon menyatakan bahwa dalam tindakan yang didasarkan pada keselamatan (behavioral based safety) untuk mencapai titik perubahan arah perilaku manusia yang peduli terhadap K3 perlu dilakukan langkah-langkah sebagai gambar dibawah ini:

Engineering
Education
Enforcement
Behavior Based
Culture Change
 



Gambar 1
Teori S.K Poon

Keterangan:
a.       tahap engineering yaitu tahap penyusunan konsep dan sistem K3;
b.      tahap education yaitu pemberian pendidikan maupun training kepada tenaga kerja terkait dengan sistem K3 perusahaan;
c.       tahap  enforcement yaitu tahap penerapan dari K3;
d.      tahap behavior based yaitu tahap perilaku setiap pekerja yang peduli terhadap K3;
e.       tahap culture change yaitu terjadinya perubahan budaya setiap anggota yang saling peduli terhadap K3.

5.            Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara (SMKP)
 Minerba
SMK3 sebagai sistem manajemen K3 di semua jenis perusahaan, tidaklah cukup bagi industri pertambangan. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan prioritas utama di dunia pertambangan, maka sebagai jawaban atas hal tersebut, forum KTT se-Indonesia bersama Kementerian ESDM membentuk sistem manajemen K3 bagi industri pertambangan, sistem ini dikenal dengan SMKP Minerba.

5.1.      Pengertian SMKP Minerba, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan Keselamatan Operasi
5.1.1. SMKP Minerba
SMKP yang merupakan standar baku bagi penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di dunia pertambangan diberlakukan bagi usaha tambang dengan skala besar, menengah, maupun kecil. SMKP sendiri memiliki definisi:
SMKP adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko keselamatan pertambangan yang terdiri atas keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan dan keselamatan operasi pertambangan.”[18]

Berdasarkan pengertian tersebut, SMKP berfokus pada tiga hal yaitu keselamatan, kesehatan, dan operasi pertambangan.
5.1.2. Keselamatan dan Kesehatan Pertambangan
Keselamatan dan Kesehatan pertambangan memiliki pengertian sebagai kegiatan yang menjaminan atas keselamatan dan kesehatan pekerja tambang melalui implementasi dari keselamatan kerja, kesehatan kerja, lingkungan kerja, dan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3).[19]
5.1.3. Keselamatan Operasi Pertambangan
Keselamatan operasi pertambangan berdasarkan Permen SMKP memiliki pengertian:
“Keselamatan Opersi Pertambangan adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi operasional tambang yang aman, efisien, dan produktif melalui upaya, antara lain pengelolaan sistem dan pelaksanaan pemeliharaan/ perawatan sarana, prasarana, instalasi, dan peralatan pertambangan, pengamanan instalasi, kelayakan sarana, prasarana instalasi, dan peralatan pertambangan, kompetensi tenaga teknik, dan evaluasi laporan hasil kajian teknis pertambangan.”[20]

Berdasarkan ketentuan tersebut maka maka keselamatan operasional mencangkup segala hal yang berkaitan dengan operasi pertambangan mulai dari eksplorasi sampai kegiatan pasca tambang.
5.2.      Tujuan SMKP Minerba
Tujuan penerapan SMKP Minerba bertujuan untuk (a) meningkatkan efektifitas keselamatan pertambangan yang terencana, terstruktur, dan teringerasi, (b) mencegah kecelakaan tambang, penyakit akibat kerja, dan kejadian berbahaya, (c) menciptakan kegiatan operasional tambang yang aman, efisien, dan produktif, dan (d) menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, nyaman, dan efisien untuk meningkatkan produktivitas.[21]
5.3.      Kewajiban Penerapan SMKP Minerba
Setiap perusahaan yang menjalankan usaha pertambangan dan jasa usaha pertambangan diwajibkan untuk menerapkan SMKP Minerba. Kewajiban ini dikenakan kepada perusahaan yang memegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi Khusus Pengelolaan/Pemurnian, Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)[22] bagi perusahaan pertambangan yang dilaksankan oleh KTT. Sedangkan bagi perusahaan jasa pertambangan dikenakan kewajiban bagi perusahaan yang memegang Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) dan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang dilaksanakan oleh Penanggung Jawab Operasional (PJO).
5.4.      Elemen SMKP Minerba
Elemen Dalam penyusunan SMKP Minerba didasarkan pada elemen-elemen sebagai berikut:
a.      Kebijakan[23]
Kebijakan SMPK  Minerba meliputi penyusunan kebijakan, isi kebijakan, penetapan kebijakan, komunikasi kebijakan, dan tinjauan kebijakan. Pelaksanaan kebijakan disahkan oleh pimpinan tertinggi perusahaan dalam hal ini dapat berupa direksi untuk bentuk perseroan.
b.      Perencanaan[24]
Perencaan SMKP Minerba dilakukan dengan cara penelaan awal, manajemen risiko, identifikasi dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan persyaratan lain yang terkait, penetapan tujuan, sasaran, dan program serta rencana kerja anggaran keselamatan pertambangan.
c.       Organisasi dan Personel[25]
Menurut Pasal 8 Permen ESDM Nomor 38 Tahun 2014 organisasi dan personel dilakukan dengan cara:
1)      penyusunan dan penetapan struktur organisasi, tugas, tanggungjawab, dan wewenang;
2)      penunjukan KTT, Kepala Tambang Bawah Tanah, dan/atau Kepala Kapal Keruk untuk Perusahaan Pertambangan;
3)      penunjukan PJO untuk Perusahaan Jasa Pertambangan;
4)      pembentukan dan penetapan Bagian K3 Pertambangan dan Bagian KO Pertambangan;
5)      penunjukan pengawas operasional dan pengawas teknik;
6)      penunjukan tenaga teknik khusus pertambangan;
7)      pembentukan dan penetapan Komite Keselamatan Pertambangan;
8)      penunjukan Tim Tanggap Darurat;
9)      seleksi dan penempatan personel;
10)  penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta kompetensi kerja;
11)  penyusunan, penetapan, dan penerapan komunikasi Keselamatan Pertambangan;
12)  pengelolaan administrasi Keselamatan Pertambangan; dan penyusunan, penerapan, dan pendokumentasian partisipasi, konsultasi, motivasi, dan kesadaran penerapan SMKP.
d.      Implementasi[26]
Tahap implementasi SMKP Minerba menurut Permen ESDM Nomor 38 Tahun 2014 dilakukan dengan cara pelaksanaan pengelolaan operasional, pelaksanaan pengelolaan lingkungan kerja, pelaksanaan pengelolaan kesehatan kerja,pelaksanaan pengelolaan KO Pertambangan, pengelolaan bahan peledak dan peledakan, penetapan sistem perancangan dan rekayasa, penetapan sistem pembelian, pemantauan dan pengelolaan Perusahaan Jasa Pertambangan, pengelolaan keadaan darurat, penyediaan dan penyiapan pertolongan pertama pada kecelakaan,  dan pelaksanaan keselamatan di luar pekerjaan (off the job safety).
e.       Evaluasi dan Tindak Lanjut[27]
Evaluasi dan tindak lanjut SMKP Minerba menurut Permen ESDM Nomor 38 Tahun 2014 dilakukan dengan cara pemantauan dan pengukuran kinerja,inspeksi pelaksanaan Keselamatan Pertambangan, evaluasi kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya yang terkait, penyelidikan kecelakaan, kejadian berbahaya, dan penyakit akibat kerja, evaluasi pengelolaan administrasi Keselamatan Pertambangan, audit internal penerapan SMKP Minerba, dan tindak lanjut ketidaksesuaian.
f.       Dokumentasi[28]
Tahap dokumentasi SMPK Minerba dilakukan dengan penyusunan manual SMKP, pengendalian dokumen, pengendalian rekaman, dan penetapan jenis dokumen dan rekaman.



g.      Tinjauan Manajemen[29]
Tinjaun Manajemen dilakukan dalam rangka menghasilkan keputusan dan tindakan dalam rangka efektifitas penerapan SMPK Minerba dan peningkatan kinerja keselamatan pertambangan.
Adapun jika digambarkan dalam bentuk alur SMKP Minerba dapat dilihat sebagai berikut


Gambar 2
Elemen SMKP Minerba

5.5.      Audit SMKP
Pelaksanaan SMKP Minerba oleh perusahaan pertambangan dan jasa usaha pertambangan wajib dilakukan audit.  Audit yang dilakukan dapat dibedakan menjadi dua yaitu audit internal dan audit eksternal. Pertama, audit internal wajib dilakukan oleh perusahaan paling sedikit 1 (satu) kali dalam satu tahun. Kedua, audit eksternal wajib dilakukan dalam hal terjadi kecelakaan, kejadian berbahaya, penyakit akibat kerja, bencana, dan/atau dalam rangka kepentingan penilaian kinerja Keselamatan Pertambangan yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditetapkan oleh Kepala Inspektur Tambang (KAIT) cq Kementerian ESDM. Hasil dari audit internal dan/atau eksternal wajib diserahkan kepada KAIT paling lambat dalam jangka waktu 14 hari sejak audit internal dan/atau eksternal dinyatakan selesai. Hasil dari audit tersebut dijadikan dasar oleh KAIT sebagai tingkat keberhasilan (pencapain) pelaksanaan SMKP Minerba dan sebagai rekomendasi pencapain pelaksanaan SMKP Minerba. Untuk memperjelas pelaksanaan audit SMKP digambarkan sebagai berikut
Gambar 3
Alur Audit SMKP

5.6.      Pengawasan SMKP Minerba
Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Menteri ESDM cq Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dan Gubernur[30] yang pada dasarnya untuk pelaksanaannya dilakukan oleh Inspektur Tambang. Namun, bagi Gubernur berdasarkan kewenangannya diwajibkan untuk menyampaikan laporan pembinaan dan pengawasan kepada Menteri ESDM cq Direktur Jenderal Mineral dan Batubara.
5.7.      Sanksi
Terdapat sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan SMKP,  tidak memiliki KTT atau PJO, pedoman penerapan SMKP berdasarkan lampiran Permen, audit, dan pedoman audit berdasarkan lampiran permen, serta penyampaian hasil audit kepada KAIT dapat dikenakan sanksi administrasi yang dibedakan berdasarkan tingkatanya sebagai berikut:
a.       Peringatan tertulis yang dikenakan dalam jangka 30 (tiga puluh) hari kalender[31];
b.      Pemberhentian usaha sebagain atau seluruhnya secara sementara, dikenakan apabila sanksi administrasi tidak dihiraukan yang dikenakan dalam jangka waktu 90 (Sembilan puluh) hari kalender[32];
c.       Pencabutan izin usaha baik IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi Khusus Pengelolaan dan/atau Pemurnian, IUPJ, dan SKT apabila tidak mengindahkan sanksi pemberhentian sementara.[33]
Dalam aturan ini, tidak mengatur sanksi terkait dengan pembatalan PKP2B dan Kontrak Karya (KK), yang hanya diatur terkait dengan pencabutan izin saja. Hal ini tentunya menjadi kelemahan bagi pemerintah, padahal kewajiban SMKP miliputi pemegang PKP2B dan KK.








DAFTAR REFERENSI

Kementerian ESDM. Warta Minerba :Meningkatkan Kinerja Subsektor Minerba, diakses, https://www.minerba.esdm.go.id/library/content/file/28935-Publikasi/008f75e938deed 453b91c2a3 caa236a42013-11-08-20-03-45.pdf+&cd=2&hl= id&ct=clnk &gl=id. pada 11 Juni 2016.
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat. UUD 1945. Ps. 27 ayat (2).
_______. Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nomor 1 Tahun 1970
_______. Peraturan Pemerintah Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja Dibidang Pertambangan. PP Nomor 19 Tahun 1973. LN Nomor. 25 Tahun 1973. TLN Nomor 3003.
_______. Undang-Undang Ketenagakerjaan. UU Nomor 13 Tahun 2003. LN Nomor 39 Tahun 2003. TLN Nomor 4297.
_______. Peraturan Pemerintah Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. PP Nomor 50 Tahun 2012. LN Nomor 100 Tahun 2012.
_______. Peraturan Pemerintah Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP Nomor 55 Tahun 2010. LN Nomor 85 Tahun 2010. TLN Nomor 5142.
_______. Undang Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU 4 Tahun 2009. LN Nomor 4 Tahun 2009. TLN Nomor 4959. Ps. 1 angka 1.
Kementerian ESDM, Keputusan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum. Kepmen  Nomor:555.K/26/M.PE/1995.
_______. Peraturan Menteri ESDM Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara. Permen Nomor 38 Tahun 2014. BN Nomor 2014 Tahun 2014.



[1] Kementerian ESDM (1), Warta Minerba :Meningkatkan Kinerja Subsektor Minerba, diakses https://www.minerba.esdm.go.id/library/content/file/28935-Publikasi/008f75e938deed 453b91c2a3 caa236a42013-11-08-20-03-45.pdf+&cd=2&hl= id&ct=clnk &gl=id, pada 11 Juni 2016.
[2] Ibid.
[3] Indonesia (1), Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat, UUD 1945, Ps. 27 ayat (2).
[4] Kata dikuasai tidak berarti dimiliki, konsep penguasaan berbeda dengan konsep kepemilikan., jika pada konsep kemilikan berarti absolute, tetapi pada konsep penguasaan hanya sebagai pemegang saja (houder). Konsep kepemilikan inilah yang dahulu digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang mengenalkan konsep domain verklaring yang menyatakan bahwa tanah berdasarkan pada Agrarische Wet (Staatsblad 1875 No. 55) menjadi milik negara.
[5] Indonesia (1) Op.Cit., Ps. 33 ayat (3).
[6] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 mewajibkan Pengurus (Pemberi Kerja) untuk melakukan pengawasan terhadap tenaga kerja yang ada padanya dalam bentuk pemeriksaan kesehatan badan, mental, dan kemampuan fisik.
[7] Bentuk pembinaan yang dilakukan oleh pengurus (pemberi kerja) sebagaimana Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 dilakukan dengan menunjukan dan menjelaskan kepada tenaga kerja dalam hal: (a) Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam tempat kerjanya, (b) Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam semua tempat Kerjanya, (c) Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan, dan (d) Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
[8] Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja Dibidang Pertambangan, PP Nomor 19 Tahun 1973, LN Nomor. 25 Tahun 1973, TLN Nomor 3003, Ps. 3.
[9] Ibid., Ps. 5.
[10] Indonesia (2), Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU Nomor 13 Tahun 2003, LN Nomor 39 Tahun 2003, TLN Nomor 4297, Ps. 86 ayat (1) Jo 87.
[11] Indonesia (3), Peraturan Pemerintah Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, PP Nomor 50 Tahun 2012, LN Nomor 100 Tahun 2012, Ps. 5.
[12] Ibid., Ps. 16 ayat (1).
[13] Indonesia (3), Peraturan Pemerintah Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PP Nomor 55 Tahun 2010, LN Nomor 85 Tahun 2010, TLN Nomor 5142, Ps 13 Jo Ps 16.
[14] Berdasarkan Pasal angka 6 Keputusan Menteri Pertambangan dan Enegri Nomor:555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum yang dimaksud Kepala Teknik Tambangan adalah seorang yang memimpin dan bertanggung jawab atas terlaksananya serta ditaatinya peraturan perundang-undangan keselamatan dan kesehatan kerja pada suatu kegiatan usaha pertambangan di wilayah yang menjaditanggung jawabnya.
[15] Ibid., Ps 4 ayat (7) Keputusan Menteri tersebut menyatakan apabila tidak ada KTT, maka kegiatan usaha tambang harus dihentikan.
[16] Indonesia (4), Undang Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU 4 Tahun 2009, LN Nomor 4 Tahun 2009, TLN Nomor 4959, Ps. 1 angka 1.
[17] Penggunaan peralatan khusus ini pada dasarnya dalam rangka menjaga K3.
[18] Kementerian ESDM (2), Peraturan Menteri ESDM Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen Nomor 38 Tahun 2014, BN Nomor 2014 Tahun 2014, Ps. 1 angka 1.
[19] Ibid., Ps. 1 angka 3.
[20] Ibid., Ps. 1 angka 4.
[21] Ibid., Ps. 2.
[22] Menurut Pasal 1angka 12 Permen SMKP dinyatakan bahwa PKP2B adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian batubara.
[23] Ibid., Ps. 6.
[24] Ibid., Ps. 7.
[25] Ibid., Ps. 8.
[26]  Ibid., Ps. 9.
[27] Ibid., Ps 10.
[28] Ibid., Ps. 11.
[29] Ibid., Ps. 12.
[30] Meskipun IUP berasal dari Bupati/Walikota, tetapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kewengan ini telah dialihkan kepada Gubernur.
[31] Kementerian ESDM (2), Op.cit., Ps. 19.
[32] Ibid., Ps. 20.
[33] Ibid., Ps. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar