1.
Latar
Belakang
Kecelakaan
tambang menjadi musuh bagi industri tambang dimana pun berada, hal ini pun
menjadi ancaman bagi industri pertambangan di Indonesia. Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (untuk selanjutnya disebut Kementerian ESDM) menyatakan
bahwa kecelakaan tambang disebabkan oleh (a) penyebab langsung yang disebabkan
oleh tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman dan (b) penyebab dasar. Tahun
2014, Kementerian ESDM mengeluarkan data bahwa sebagian besar tindakan tidak
aman disebabkan oleh tidak mengikuti prosedur, tidak memakai Alat Pelindung Diri
(APD), bekerja dengan posisi tidak benar, dan menggunakan alat yang tidak
tepat, sedangkan kondisi tidak aman disebabkan oleh pelindung tidak lengkap,
perkakas rusak, rambu-rambu tidak lengkap, dan kondisi jalan tidak memadai.
Selanjutnya penyebab dasar kecelakaan tambang disebabkan oleh faktor kurangnya
pengetahuan, motivasi yang keliru, dan kurangnya kemampuan dalam arti mental.
Masalah kecelakaan tambang sudah
menjadi bahan diskusi khususnya pada pertemuaan tahunan Kepala Teknik Tambang
(untuk selanjutnya disebut KTT). Pada tanggal 27 November 2012, pertemuan
tahunan tersebut menyepakati untuk membentuk tim finalisasi draf Sistem
Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara (untuk selanjutnya
disebut SMKP Minerba).[1] Sebagai tindak lanjut, maka dibentuk tim yang
terdiri dari perwakilan manajer keselamatan dari perusahaan pertambangan
mineral dan batubara dan perusahaan jasa pertambangan mineral dan batubara,
konsultan dan trainer dari perusahaan
jasa konsultan dan training
keselamatan pertambangan, dan difasilitasi oleh Inspektur Tambang dari Direktorat
Mineral dan Batubara ESDM.[2]
Hasil pembahasan tim tersebut, pada tahun 2014 membuahkan hasil Peraturan
Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2014 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
Pertambangan Mineral dan Batubara.
2.
Dasar
Hukum SMKP Minerba
SMKP Minerba
yang menjadi standar di dunia pertambangan didasarkan pada aturan yang ada di
Indonesia diantaranya yang menjadi landasan pembentukan SMKP Minerba adalah
sebagai berikut:
2.1.
Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945)
Di
dalam UUD 1945 tepatnya di dalam Pasal 27 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.[3]
Ketentuan pasal ini menjadi dasar bagi negara untuk memberikan kesejahteraan
kepada warganya dalam bentuk pekerjaan dan penghidupan. Selain itu di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai[4]
oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[5]
2.2.
Undang-Undang
1 Tahun 1970
Undang-Undang
ini merupakan peraturan pertama yang dibentuk oleh Indonesia terkait dengan
pengaturan K3 secara umum sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Peraturan tersebut. Melalui Undang-Undang ini pengusaha sebagai Pengurus
(pemberi kerja) diwajibkan untuk melakukan pengawasan[6]
dan pembinaan[7]
terhadap tenaga kerja yang ada padanya. Pada era peraturan ini, pengawasan
pertambangan dilakukan oleh menteri ketenagakerjaan.
Untuk di bidang
pertambangan sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1970, maka dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1973 yang memuat
tentang pengawasan K3 dibidang pertambangan yang dilakukan oleh Menteri ESDM dengan bekerjasama dengan menteri
ketenagakerjaan.[8]
Namun aturan ini tidak berlaku bagi Katel Uap sebagaimana dimaksud dalam Stoom Ordonnantie.[9]
2.3.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003
Undang-Undang
ketenagakerjaan sebagai salah satu dasar
pelaksanaan K3 memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Dalam UU Nomor 13
Tahun 2003 ini setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan K3 yang
dilakukan oleh perusahaan melalui sistem yang terintegrasi.[10]
Selanjutnya
sebagai amanat Pasal 87 ayat (2), maka dibentuklah suatu sistem manajamen K3
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012. Sistem yang dibentuk dikenal
dengan Sistem Manjemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang merupakan
kewajiban bagi perusahaan yang mempekerjakan paling sedikit 100 buruh/pekerja
dengan risiko tinggi.[11]
Pelaksanaan SMK3 perusahaan dilakukan penilaian oleh Menteri ESDM melalui
lembaga audit.[12]
2.4.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009
K3
dan keselamatan operasi pertambangan menjadi kewajiban pemegang Izin Usah
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pengawasan K3
dilakukan oleh menteri, gubernur, bupati/walikota berdasarkan pada kewenangan
yang ada. Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010
pengawasan K3 dan keselamatan operasi oleh menteri, gubernur, bupati/walikota
tidak hanya sebatas pada IUP dan IUPK, tetapi juga terhadap IPR.[13]
Selain
itu jauh sebelum PP Nomor 55 Tahun 2010, Menteri Pertambangan dan Energi
(sekarang ESDM) mengeluarkan peraturan terkait dengan pengawasan K3
Pertambangan dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor:555.K/26/M.PE/1995, dalam peraturan ini pengawasan K3 dilaksanakan oleh Kepala Teknik
Tambang (untuk selanjutnya disebut KTT) yang diangkat oleh pengusaha dan
disahkan oleh Inspektur Tambang.[14]
Keberadaan KTT begitu penting dalam usaha pertambangan, hal ini guna untuk
menjamin K3 bagi tenaga kerja tambang.[15]
KTT dalam menjalankan tugasnya dapat dibantu oleh Pengawas Opersional dan
Pengawas Teknis.
2.5.
Peraturan
Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2014
Peraturan
Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2014 merupakan aturan penerapan SMKP bagi
perusahaan yang menjalankan bisnis di bidang pertambangan mineral dan batubara
dan perusahaan jasa pertambangan. Dalam peraturan ini penerapan SMKP
dilaksanakan dengan membuat lima elemen penting yaitu kebijakan perencanaan,
organisasi dan personel, implementasi, evaluasi dan tindak lanjut, dokumentasi,
dan tinjaun manajemen. Terhadap perusahaan yang tidak menjalankan SMKP akan
dikenakan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, penghentian
sementara, dan pencabutan izin.
3.
Karakteristik
Pertambangan
Pertambangan memiliki
pengertian sebagai sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangltutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.[16]
Pertambangan sebagai suatu sektor usaha memiliki karakteristik diantaranya
yaitu:
a. padat
modal dan teknologi;
b. memiliki
risiko yang besar dan spesifik;
c. memiliki
peralatan khusus[17];
d. dinamis
dalam arti bahaya dan risiko yang selalu berubah.
Selain itu, menurut
kementerian ESDM pertambangan memiliki karakteristik khusus diantaranya:
a. memiliki
rencana kerja dan anggaran keselamatan
pertambangan yang disahkan oleh Menteri ESDM;
b. terdapatnya
Kepala Teknik Tambang, Kepada Tambang Bawah Tanah, Kepada Kapal Keruk,
Penanggung Jawab Operasional;
c. terdapatnya
Pengawas Operasional dan Teknik yang ditunjuk oleh Kepala Teknik Tambang
d. adanya
personel khusus;
e. adanya
pengelolaan keselamatan operasi pertambangan;
f. penggunaan
bahan pelacak dan peledak;
g. adanya
penyelidikan kecekalakaan, kejadian bahaya, dan penyakit akibat kerja;
h. adanya
diklat pekerja dan pengawas, buku tambang, dan buku kecelakaan, serta
kecelakaan pekerja di luar pekerjaan.
4.
Konsep
Akademis
Ditinjau dari segi
akademis berdasarkan teori S. K Poon menyatakan bahwa dalam tindakan yang
didasarkan pada keselamatan (behavioral
based safety) untuk mencapai titik perubahan arah perilaku manusia yang
peduli terhadap K3 perlu dilakukan langkah-langkah sebagai gambar dibawah ini:
Engineering
|
Education
|
Enforcement
|
Behavior Based
|
Culture Change
|
Gambar 1
Teori S.K Poon
Keterangan:
a. tahap
engineering yaitu tahap penyusunan
konsep dan sistem K3;
b. tahap
education yaitu pemberian pendidikan
maupun training kepada tenaga kerja
terkait dengan sistem K3 perusahaan;
c. tahap enforcement
yaitu tahap penerapan dari K3;
d. tahap
behavior based yaitu tahap perilaku
setiap pekerja yang peduli terhadap K3;
e. tahap
culture change yaitu terjadinya
perubahan budaya setiap anggota yang saling peduli terhadap K3.
Sistem
Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara (SMKP)
Minerba
SMK3
sebagai sistem manajemen K3 di semua jenis perusahaan, tidaklah cukup bagi
industri pertambangan. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan prioritas
utama di dunia pertambangan, maka sebagai jawaban atas hal tersebut, forum KTT
se-Indonesia bersama Kementerian ESDM membentuk sistem manajemen K3 bagi
industri pertambangan, sistem ini dikenal dengan SMKP Minerba.
5.1.
Pengertian
SMKP Minerba, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan Keselamatan Operasi
5.1.1.
SMKP Minerba
SMKP yang
merupakan standar baku bagi penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di dunia
pertambangan diberlakukan bagi usaha tambang dengan skala besar, menengah,
maupun kecil. SMKP sendiri memiliki definisi:
“SMKP
adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka
pengendalian risiko keselamatan pertambangan yang terdiri atas keselamatan dan
kesehatan kerja pertambangan dan keselamatan operasi pertambangan.”[18]
Berdasarkan
pengertian tersebut, SMKP berfokus pada tiga hal yaitu keselamatan, kesehatan,
dan operasi pertambangan.
5.1.2.
Keselamatan dan Kesehatan Pertambangan
Keselamatan dan
Kesehatan pertambangan memiliki pengertian sebagai kegiatan yang menjaminan
atas keselamatan dan kesehatan pekerja tambang melalui implementasi dari
keselamatan kerja, kesehatan kerja, lingkungan kerja, dan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3).[19]
5.1.3.
Keselamatan Operasi Pertambangan
Keselamatan
operasi pertambangan berdasarkan Permen SMKP memiliki pengertian:
“Keselamatan Opersi
Pertambangan adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi operasional
tambang yang aman, efisien, dan produktif melalui upaya, antara lain
pengelolaan sistem dan pelaksanaan pemeliharaan/ perawatan sarana, prasarana,
instalasi, dan peralatan pertambangan, pengamanan instalasi, kelayakan sarana,
prasarana instalasi, dan peralatan pertambangan, kompetensi tenaga teknik, dan
evaluasi laporan hasil kajian teknis pertambangan.”[20]
Berdasarkan
ketentuan tersebut maka maka keselamatan operasional mencangkup segala hal yang
berkaitan dengan operasi pertambangan mulai dari eksplorasi sampai kegiatan
pasca tambang.
5.2.
Tujuan
SMKP Minerba
Tujuan penerapan SMKP
Minerba bertujuan untuk (a) meningkatkan efektifitas keselamatan pertambangan
yang terencana, terstruktur, dan teringerasi, (b) mencegah kecelakaan tambang,
penyakit akibat kerja, dan kejadian berbahaya, (c) menciptakan kegiatan
operasional tambang yang aman, efisien, dan produktif, dan (d) menciptakan
tempat kerja yang aman, sehat, nyaman, dan efisien untuk meningkatkan
produktivitas.[21]
5.3.
Kewajiban
Penerapan SMKP Minerba
Setiap perusahaan yang menjalankan usaha
pertambangan dan jasa usaha pertambangan diwajibkan untuk menerapkan SMKP
Minerba. Kewajiban ini dikenakan kepada perusahaan yang memegang IUP, IUPK, IUP
Operasi Produksi Khusus Pengelolaan/Pemurnian, Kontrak Karya, Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)[22]
bagi perusahaan pertambangan yang dilaksankan oleh KTT. Sedangkan bagi
perusahaan jasa pertambangan dikenakan kewajiban bagi perusahaan yang memegang
Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) dan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang
dilaksanakan oleh Penanggung Jawab Operasional (PJO).
5.4.
Elemen
SMKP Minerba
Elemen
Dalam penyusunan SMKP Minerba didasarkan pada elemen-elemen sebagai berikut:
a.
Kebijakan[23]
Kebijakan SMPK Minerba meliputi penyusunan kebijakan, isi
kebijakan, penetapan kebijakan, komunikasi kebijakan, dan tinjauan kebijakan.
Pelaksanaan kebijakan disahkan oleh pimpinan tertinggi perusahaan dalam hal ini
dapat berupa direksi untuk bentuk perseroan.
b.
Perencanaan[24]
Perencaan SMKP Minerba dilakukan
dengan cara penelaan awal, manajemen risiko, identifikasi dan kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan persyaratan lain yang
terkait, penetapan tujuan, sasaran, dan program serta rencana kerja anggaran
keselamatan pertambangan.
c.
Organisasi
dan Personel[25]
Menurut Pasal 8 Permen
ESDM Nomor 38 Tahun 2014 organisasi dan personel dilakukan dengan cara:
1) penyusunan
dan penetapan struktur organisasi, tugas, tanggungjawab, dan wewenang;
2) penunjukan
KTT, Kepala Tambang Bawah Tanah, dan/atau Kepala Kapal Keruk untuk Perusahaan
Pertambangan;
3) penunjukan
PJO untuk Perusahaan Jasa Pertambangan;
4) pembentukan
dan penetapan Bagian K3 Pertambangan dan Bagian KO Pertambangan;
5) penunjukan
pengawas operasional dan pengawas teknik;
6) penunjukan
tenaga teknik khusus pertambangan;
7) pembentukan
dan penetapan Komite Keselamatan Pertambangan;
8) penunjukan
Tim Tanggap Darurat;
9) seleksi
dan penempatan personel;
10) penyelenggaraan
dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta kompetensi kerja;
11) penyusunan,
penetapan, dan penerapan komunikasi Keselamatan Pertambangan;
12) pengelolaan
administrasi Keselamatan Pertambangan; dan penyusunan, penerapan, dan
pendokumentasian partisipasi, konsultasi, motivasi, dan kesadaran penerapan
SMKP.
d.
Implementasi[26]
Tahap
implementasi SMKP Minerba menurut Permen ESDM Nomor 38 Tahun 2014 dilakukan
dengan cara pelaksanaan pengelolaan operasional, pelaksanaan pengelolaan
lingkungan kerja, pelaksanaan pengelolaan kesehatan kerja,pelaksanaan pengelolaan
KO Pertambangan, pengelolaan bahan peledak dan peledakan, penetapan sistem
perancangan dan rekayasa, penetapan sistem pembelian, pemantauan dan
pengelolaan Perusahaan Jasa Pertambangan, pengelolaan keadaan darurat,
penyediaan dan penyiapan pertolongan pertama pada kecelakaan, dan pelaksanaan keselamatan di luar pekerjaan
(off the job safety).
e.
Evaluasi
dan Tindak Lanjut[27]
Evaluasi
dan tindak lanjut SMKP Minerba menurut Permen ESDM Nomor 38 Tahun 2014
dilakukan dengan cara pemantauan dan pengukuran kinerja,inspeksi pelaksanaan
Keselamatan Pertambangan, evaluasi kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan dan persyaratan lainnya yang terkait, penyelidikan
kecelakaan, kejadian berbahaya, dan penyakit akibat kerja, evaluasi pengelolaan
administrasi Keselamatan Pertambangan, audit internal penerapan SMKP Minerba,
dan tindak lanjut ketidaksesuaian.
f.
Dokumentasi[28]
Tahap
dokumentasi SMPK Minerba dilakukan dengan penyusunan manual SMKP, pengendalian
dokumen, pengendalian rekaman, dan penetapan jenis dokumen dan rekaman.
g.
Tinjauan
Manajemen[29]
Tinjaun
Manajemen dilakukan dalam rangka menghasilkan keputusan dan tindakan dalam
rangka efektifitas penerapan SMPK Minerba dan peningkatan kinerja keselamatan
pertambangan.
Adapun jika digambarkan dalam bentuk alur SMKP
Minerba dapat dilihat sebagai berikut
Gambar
2
Elemen
SMKP Minerba
5.5.
Audit
SMKP
Pelaksanaan SMKP
Minerba oleh perusahaan pertambangan dan jasa usaha pertambangan wajib
dilakukan audit. Audit yang dilakukan
dapat dibedakan menjadi dua yaitu audit internal dan audit eksternal. Pertama,
audit internal wajib dilakukan oleh perusahaan paling sedikit 1 (satu) kali
dalam satu tahun. Kedua, audit eksternal wajib dilakukan dalam hal terjadi kecelakaan, kejadian
berbahaya, penyakit akibat kerja, bencana, dan/atau dalam rangka kepentingan
penilaian kinerja Keselamatan Pertambangan yang dilakukan oleh lembaga
independen yang ditetapkan oleh Kepala Inspektur Tambang (KAIT) cq Kementerian
ESDM. Hasil dari audit internal dan/atau eksternal wajib diserahkan kepada KAIT
paling lambat dalam jangka waktu 14 hari sejak audit internal dan/atau
eksternal dinyatakan selesai. Hasil dari audit tersebut dijadikan dasar oleh
KAIT sebagai tingkat keberhasilan (pencapain) pelaksanaan SMKP Minerba dan
sebagai rekomendasi pencapain pelaksanaan SMKP Minerba. Untuk memperjelas
pelaksanaan audit SMKP digambarkan sebagai berikut
Gambar 3
Alur Audit SMKP
5.6.
Pengawasan
SMKP Minerba
Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Menteri ESDM
cq Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dan Gubernur[30]
yang pada dasarnya untuk pelaksanaannya dilakukan oleh Inspektur Tambang.
Namun, bagi Gubernur berdasarkan kewenangannya diwajibkan untuk menyampaikan
laporan pembinaan dan pengawasan kepada Menteri ESDM cq Direktur Jenderal
Mineral dan Batubara.
5.7.
Sanksi
Terdapat sanksi bagi perusahaan yang tidak
menjalankan SMKP, tidak memiliki KTT
atau PJO, pedoman penerapan SMKP berdasarkan lampiran Permen, audit, dan
pedoman audit berdasarkan lampiran permen, serta penyampaian hasil audit kepada
KAIT dapat dikenakan sanksi administrasi yang dibedakan berdasarkan tingkatanya
sebagai berikut:
a. Peringatan
tertulis yang dikenakan dalam jangka 30 (tiga puluh) hari kalender[31];
b. Pemberhentian
usaha sebagain atau seluruhnya secara sementara, dikenakan apabila sanksi
administrasi tidak dihiraukan yang dikenakan dalam jangka waktu 90 (Sembilan puluh)
hari kalender[32];
c. Pencabutan
izin usaha baik IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi Khusus Pengelolaan dan/atau
Pemurnian, IUPJ, dan SKT apabila tidak mengindahkan sanksi pemberhentian
sementara.[33]
Dalam aturan ini, tidak mengatur sanksi terkait
dengan pembatalan PKP2B dan Kontrak Karya (KK), yang hanya diatur terkait
dengan pencabutan izin saja. Hal ini tentunya menjadi kelemahan bagi
pemerintah, padahal kewajiban SMKP miliputi pemegang PKP2B dan KK.
DAFTAR
REFERENSI
Kementerian ESDM. Warta Minerba
:Meningkatkan Kinerja Subsektor Minerba, diakses, https://www.minerba.esdm.go.id/library/content/file/28935-Publikasi/008f75e938deed
453b91c2a3 caa236a42013-11-08-20-03-45.pdf+&cd=2&hl= id&ct=clnk
&gl=id. pada 11 Juni 2016.
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat. UUD 1945. Ps. 27 ayat
(2).
_______. Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nomor 1 Tahun 1970
_______. Peraturan Pemerintah Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja
Dibidang Pertambangan. PP Nomor 19 Tahun 1973. LN Nomor. 25 Tahun 1973. TLN
Nomor 3003.
_______. Undang-Undang Ketenagakerjaan. UU Nomor 13 Tahun 2003. LN Nomor 39
Tahun 2003. TLN Nomor 4297.
_______. Peraturan Pemerintah
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. PP Nomor 50 Tahun
2012. LN Nomor 100 Tahun 2012.
_______. Peraturan Pemerintah Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. PP Nomor 55 Tahun 2010. LN Nomor 85
Tahun 2010. TLN Nomor 5142.
_______. Undang Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU 4 Tahun 2009.
LN Nomor 4 Tahun 2009. TLN Nomor 4959. Ps. 1 angka 1.
Kementerian
ESDM, Keputusan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum. Kepmen Nomor:555.K/26/M.PE/1995.
_______. Peraturan Menteri ESDM Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan
Mineral dan Batubara. Permen Nomor 38 Tahun 2014. BN Nomor 2014 Tahun 2014.
[1] Kementerian ESDM (1), Warta
Minerba :Meningkatkan Kinerja Subsektor Minerba, diakses https://www.minerba.esdm.go.id/library/content/file/28935-Publikasi/008f75e938deed
453b91c2a3 caa236a42013-11-08-20-03-45.pdf+&cd=2&hl= id&ct=clnk
&gl=id, pada
11 Juni 2016.
[2] Ibid.
[3] Indonesia (1), Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat,
UUD 1945, Ps. 27 ayat (2).
[4] Kata dikuasai tidak berarti
dimiliki, konsep penguasaan berbeda dengan konsep kepemilikan., jika pada
konsep kemilikan berarti absolute, tetapi pada konsep penguasaan hanya sebagai
pemegang saja (houder). Konsep
kepemilikan inilah yang dahulu digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang
mengenalkan konsep domain verklaring
yang menyatakan bahwa tanah berdasarkan pada Agrarische Wet (Staatsblad 1875 No. 55) menjadi milik negara.
[5] Indonesia (1) Op.Cit., Ps. 33 ayat (3).
[6] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 mewajibkan Pengurus (Pemberi Kerja) untuk melakukan
pengawasan terhadap tenaga kerja yang ada padanya dalam bentuk pemeriksaan
kesehatan badan, mental, dan kemampuan fisik.
[7] Bentuk pembinaan
yang dilakukan oleh pengurus (pemberi kerja) sebagaimana Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 dilakukan dengan menunjukan dan menjelaskan
kepada tenaga kerja dalam hal: (a) Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa
yang dapat timbul dalam tempat kerjanya, (b) Semua pengamanan dan alat-alat
perlindungan yang diharuskan dalam semua tempat Kerjanya, (c) Alat-alat
perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan, dan (d) Cara-cara dan
sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
[8] Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja
Dibidang Pertambangan, PP Nomor 19 Tahun 1973, LN Nomor. 25 Tahun 1973, TLN
Nomor 3003, Ps. 3.
[9] Ibid., Ps. 5.
[10] Indonesia (2), Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU Nomor
13 Tahun 2003, LN Nomor 39 Tahun 2003, TLN Nomor 4297, Ps. 86 ayat (1) Jo 87.
[11] Indonesia (3), Peraturan
Pemerintah Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, PP Nomor
50 Tahun 2012, LN Nomor 100 Tahun 2012, Ps. 5.
[12] Ibid., Ps. 16 ayat (1).
[13] Indonesia (3), Peraturan Pemerintah Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PP
Nomor 55 Tahun 2010, LN Nomor 85 Tahun 2010, TLN Nomor 5142, Ps 13 Jo Ps 16.
[14] Berdasarkan
Pasal angka 6 Keputusan Menteri Pertambangan dan Enegri
Nomor:555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan
Umum yang dimaksud Kepala Teknik Tambangan adalah seorang yang memimpin dan
bertanggung jawab atas terlaksananya serta ditaatinya peraturan perundang-undangan
keselamatan dan kesehatan kerja pada suatu kegiatan usaha pertambangan di
wilayah yang menjaditanggung jawabnya.
[15] Ibid., Ps 4 ayat (7) Keputusan Menteri tersebut menyatakan apabila
tidak ada KTT, maka kegiatan usaha tambang harus dihentikan.
[16] Indonesia (4), Undang Undang Pertambangan Mineral dan
Batubara, UU 4 Tahun 2009, LN Nomor 4 Tahun 2009, TLN Nomor 4959, Ps. 1 angka
1.
[17]
Penggunaan peralatan khusus
ini pada dasarnya dalam rangka menjaga K3.
[18] Kementerian ESDM (2), Peraturan Menteri ESDM Sistem Manajemen
Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen Nomor 38 Tahun 2014,
BN Nomor 2014 Tahun 2014, Ps. 1 angka 1.
[19] Ibid., Ps. 1 angka 3.
[20] Ibid., Ps. 1 angka 4.
[21] Ibid., Ps. 2.
[22] Menurut Pasal 1angka 12 Permen
SMKP dinyatakan bahwa PKP2B adalah perjanjian antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melaksanakan usaha
pertambangan bahan galian batubara.
[23] Ibid., Ps. 6.
[24] Ibid., Ps. 7.
[25] Ibid., Ps. 8.
[26] Ibid.,
Ps. 9.
[27] Ibid., Ps 10.
[28] Ibid., Ps. 11.
[29] Ibid., Ps. 12.
[30] Meskipun IUP berasal dari
Bupati/Walikota, tetapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kewengan
ini telah dialihkan kepada Gubernur.
[31] Kementerian ESDM (2), Op.cit., Ps. 19.
[32] Ibid., Ps. 20.
[33] Ibid., Ps. 21.